Contoh paling jelas dari protokol tersebut terdapat dalam dokumen resmi, seperti pedoman dan peraturan seputar penyelamatan, rehabilitasi, dan reintroduksi orangutan. Tetapi, protokol juga dapat berbentuk metode kuantitatif untuk menyarikan data yang dapat digeneralisasikan (misalnya perkiraan populasi orangutan) dari lokasi dan populasi tertentu. Data dan analisis ilmiah juga digunakan dalam membuat rencana dan strategi pengelolaan spesies yang kemudian digunakan sebagai bahan koordinasi dengan para pemangku kepentingan yang telah melakukan upaya konservasi berdasarkan prioritas konservasi orangutan saat ini.
Dalam bentuk dokumenter, protokol terlihat seperti struktur yang tegas dan pervasif, yang diberlakukan oleh ‘Pemerintah’, ‘Sains’, atau LSM, sehingga membentuk konservasi secara top-down atau pendekatan sepihak dari atas ke akar rumput. Namun, jika kita mempelajari bagaimana protokol dibuat dan diberlakukan, kita dapat melihat bahwa protokol muncul dari dan terus-menerus diolah ulang melalui pertemuan antara berbagai gagasan, praktik, serta pelaku manusia dan non-manusia. Selain itu, tak sedikit protokol yang tidak pernah dituliskan, tetapi ada sebagai rutinitas dinamis, konvensi, dan formalitas-formalitas yang membentuk interaksi antar upaya konservasi.
Galeri ini mengeksplorasi beberapa protokol yang membentuk praktik, pengalaman, dan konteks terkait konservasi orangutan. Beberapa gambar menyoroti pekerjaan dalam bentuk skematisasi. Misalnya, membagi ruang hutan hujan yang lebat menjadi beberapa bagian yang dapat diidentifikasi dengan jelas, atau menerjemahkan realitas yang kompleks ke dalam model konseptual yang lebih sederhana. Ada pula eksplorasi yang mengungkapkan protokol dalam bentuk aksi, yaitu: bagaimana preskripsi dan pedoman khusus untuk penyelamatan orangutan dipraktikkan, bagaimana lembar data mengatur kehidupan sehari-hari ahli primata, dan bagaimana teknologi baru yang digunakan dalam penelitian menghasilkan protokol baru terkait kerja lapangan, data, dan strategi konservasi.
Di luar itu, banyak protokol lain yang memengaruhi bagaimana konservasi orangutan berlangsung di lapangan. Diantaranya adalah protokol yang digunakan masyarakat pedesaan yang tinggal di kawasan bentang alam konservasi orangutan untuk mengelola hubungan mereka dengan para pegiat konservasi. Banyak dari protokol ini dibuat berdasarkan konvensi lokal terkait aspek sosial, moral dan ritual yang jarang terlihat dalam dokumen resmi atau ilmiah. Misalnya, protokol di tingkat desa terkadang mencerminkan keinginan masyarakat adat terkait kesediaan menerima tamu dan kebutuhan akan adanya hubungan timbal balik. Harapannya, protokol tersebut dapat digunakan oleh masyarakat untuk menuntut pengakuan formal atas peran mereka sebagai tuan rumah bagi orangutan yang dilepasliarkan, juga bagi pegiat konservasi. Hal ini membentuk serangkaian ritual di mana penduduk desa mengabarkan kepada roh-roh lokal penghuni sekitar tentang keberadaan orang luar di wilayah mereka dan meminta persetujuan untuk bisa menjalankan kegiatan mereka. (Warning! Explicit image will be revealed when continuing to view page.)
Potret atau gambar yang disajikan menawarkan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana unsur-unsur dari pertalian konservasi global orangutan bersatu. Konservasi sering kali ditampilkan oleh media sebagai karya heroik individu. Tetapi, pengorbanan individual tersebut tidak akan banyak menghasilkan apabila tidak didukung dengan rencana dan rutinitas yang solid. Contoh-contoh tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang kekuasaan dan agensi. Siapa yang membuat protokol konservasi, dan protokol siapa yang ditulis, diamati, atau, dalam hal ini, dikesampingkan? Apakah protokol selalu diikuti? Mungkinkah protokol tersebut menjadi beban bagi orang-orang yang bekerja di dalam dan dengan konservasi?