Konservasi orangutan sangat bergantung pada dukungan moral, politik, finansial, dan pengetahuan ilmiah dari kawasan Utara dunia. Akan tetapi dalam praktek operasinya di lapangan, konservasi orangutan mengandalkan infrastruktur birokrasi pemerintah, pengetahuan dan kecakapan staf lapangan, dukungan dari industri-industri perkebunan serta ‘restu’ masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar habitat orangutan.
Membentuk kemitraan seringkali merupakan proses yang rentan, tidak teratur lagi kaya perbedaan. Bagi penduduk desa di Borneo dan Sumatra yang sering kesusahan dalam mendapatkan akses ke fasilitas umum dan kebutuhan dasar seperti layanan kesehatan, air bersih, listrik dan jaringan telekomunikasi, adanya perhatian, uang dan perawatan yang diinvestasikan pada konservasi orangutan seringkali sulit untuk dipahami. Walau beberapa kelompok masyarakat adat memiliki hubungan khusus dengan orangutan, sebagian besar penduduk desa tidak memiliki ketertarikan yang sama pada orangutan sebagaimana afinitas atau kepentingan Barat. Bagaimanapun, keraguan masyarakat lokal terhadap upaya konservasi tidak hanya berasal dari perbedaan pandangan tentang orangutan. Sebaliknya, bagi mereka yang tinggal berdampingan dengan orangutan, tindakan perlindungan orangutan menimbulkan kekhawatiran material yang konkret. Meskipun inisiatif-inisiatif konservasi orangutan dapat menciptakan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan infrastruktur, mereka juga dapat menimbulkan konsekuensi yang tak diinginkan yang sebagian besar bersifat tak kasat mata, seperti disintegrasi sosial, pembatasan atau pelarangan masyarakat untuk mengakses sumberdaya penghidupan, dan hilangnya tanah adat. Permasalahan ini membuka pandangan akan isu tak kasat mata di dalam kisah Barat tentang kepunahan orangutan, yaitu suatu fakta di mana tidak hanya orangutan yang mengalami displacement atau pemindahan/penggusuran dan dihadapkan dengan bahaya, namun nasib yang sama juga dialami masyarakat lokal yang terikat dalam benang merah program-program konservasi.
Konflik antara manusia dan orangutan bukanlah masalah anyar, terutama ketika orangutan mengalami translokasi atau dilepasliarkan ke wilayah hutan adat. Orangutan bisa saja memasuki area kebun masyarakat dan perkebunan sekitar, di mana mereka dapat merusak tanaman dan peralatan perkebunan. Seringkali orangutan dilihat sebagai hama pengganggu oleh masyarakat lokal dan staf perkebunan. Keusilan orangutan berisiko menyakiti atau membuat dirinya terbunuh akibat bentuk balas dendam atas ulahnya. Pencegahan dan mitigasi konflik antara manusia dan orangutan dilakukan oleh organisasi konservasi antara lain dengan menggunakan alat pencegah intrusi orangutan seperti jaring, alat pengeras suara, parit, serta menjalin aliansi dengan pemilik perkebunan untuk melestarikan koridor hutan. Alih-alih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan etik, keputusan tentang dengan siapa konservasi orangutan berkolaborasi (atau tidak) sering kali diinformasikan berdasarkan pragmatisme strategis.
Gambar dan kisah di dalam galeri ini dengan demikian menambah kompleksitas pemahaman tentang konservasi orangutan yang diilhami sebagai tindakan etis dan upaya netral secara politik. Beberapa gambar menunjukkan bagaimana konservasi orangutan menggantungkan diri dan memanfaatkan peralatan serta infrastruktur yang dibangun oleh industri yang tampaknya bertentangan dengan nilai konservasi. Gambar lain juga menunjukkan ketegangan dan konflik yang muncul antara orangutan, pegiat konservasi, dan orang yang hidup bersama atau berdampingan dengan orangutan. Gambar-gambar tersebut mengungkapkan bahwa bagi penduduk desa di Borneo dan Sumatra, konservasi orangutan bukanlah a self-evident good atau suatu hal yang jelas tanpa perlu pembuktian dan penjelasan lebih lanjut, melainkan merupakan suatu proyek yang sangat politis dengan efek sampingan yang seringkali tak kasat mata. Hal ini menimbulkan pertanyaan pelik tentang kepentingan siapa yang dilayani, hak siapa yang dilindungi, dan siapa yang diuntungkan oleh konservasi orangutan, serta bagaimana konservasi orangutan dapat dilakukan dengan cara yang lebih adil.