Mengusir hewan.
‘Woooe-hoooe’, teriak Isak, sambil bercanda mengumumkan kehadirannya kepada makhluk lainnya yang tak terlihat. Respons suara manusia pun datang dari berbagai arah, bercampur dengan suara air, serangga, dan burung. Kami menyeberangi sungai dan mendaki bukit berhutan di belakang desa. Isak menyebut satu persatu nama-nama pohon buah yang ditanam ketika hutan ini terakhir kali ‘dibuka’ untuk berladang. ‘Jika terlalu banyak buah yang masak, kami biarkan saja membusuk, sebagai pupuk, karena kami tidak dapat menjualnya’. Pasar terlalu jauh.
Setelah 30 menit, kami sampai pada lokasi yang disebut Isak sebagai ‘kampung durian’. Area ini adalah pemukiman yang luas. Terdapat sebuah pondok di dekat setiap pohon durian, di mana masing-masing keluarga menunggu buah yang matang jatuh dari pohonnya satu per satu. Para perempuan dan anak-anak membelah durian yang kulitnya runcing dan menaruh dagingnya yang lembut dan berwarna krem ke dalam stoples plastik, lalu durian dibiarkan terfermentasi bersama garam. Hasil fermentasi tersebut menjadi tempoyak (durian fermentasi dimakan dengan nasi), yang akan awet sepanjang tahun.
Setelah seseorang menunjukkan satu buah durian yang separuhnya sudah dimakan orangutan, Isak mengajak saya naik ke bukit berikutnya. Di sebuah tempat terbuka berdiri sebuah pohon durian tinggi yang menurut Isak telah dijaga keluarganya selama 7 generasi (Isak adalah generasi ke-4). Tahun lalu pohon durian yang tinggi itu menghasilkan antara 400 dan 500 buah, dan masih kata Isak, durian tersebut menghasilkan lebih dari 50 liter tempoyak.
Tahun ini, orangutan berpesta di pohon ini, menyisakan sedikit buah untuk Isak. Dia menunjukkan beberapa sarang orangutan. ‘Orangutan biasanya hanya datang saat kita tidak ada, misalnya sebelum buahnya matang. Orangutan tidak merugikan kita, dia hanya takut pada kita,’ jelas Isak. Dia melanjutkan pembicaraan sambil tersenyum: ‘Orangutan dan manusia terhubung [menyambung]. Kita sama-sama makan durian. Mereka makan di atas sana, dan kami makan di bawah sini’.
Meski demikian, ia membutuhkan lebih banyak durian untuk tujuh anaknya yang semuanya tinggal di luar desa dan mengandalkan tempoyak dari orang tua mereka. Itu sebabnya dia menebang pohon di sekitarnya. Tahun depan, orangutan tidak akan mungkin bisa mencapai dahan-dahan yang tinggi dari pohon durian ini.
Tindakan Isak menebang pohon melambangkan sifat koeksistensi manusia dan orangutan di more-than-human landscape atau lanskap yang lebih dari sekadar manusia. Berbeda dengan para wisatawan dan ilmuwan yang mencari orangutan dengan melakukan observasi langsung, sebagian besar penduduk desa dan orangutan di kawasan ini sama-sama lebih memilih untuk tetap tidak tampak. Sebagian besar interaksi penduduk desa dan orangutan dilakukan melalui jejak-jejak yang membekas di bentang alam sebagai perantara hubungan mereka. Saat orangutan meninggalkan bekas gigitan di buah durian dan sarangnya di dahan pohon, Isak menanggapinya dengan membuat ruang di antara kanopi hutan untuk mencegah orangutan kembali lagi.
Saat turun bukit melalui sisi lain, kami melewati suatu tempat di mana foto ini diambil. Perangkat pengusir hewan menjadi media penting lain dari ketidaktampakan bersama yang menjadi tampak melalui suara. Dengan menata ulang elemen-elemen alami dari bentang alam, seperti aliran air dan bambu, manusia telah meninggalkan jejak suara di dalamnya, misalnya suara dari pukulan keras yang berulang-ulang pada suatu benda untuk menakut-nakuti para hewan, termasuk orangutan yang sedang kelaparan.