Go back to view gallery

Kolaborasi dan Kontestasi

Diblokirnya Jalan Setapak di Ruang yang Diperebutkan (Kalimantan)

Sebatang pohon dengan sengaja ditebang dan direbahkan untuk menghalangi jalan menuju kawasan hutan lindung yang ditetapkan di atas tanah adat suatu desa. Kawasan ini ada sebagai ruang konservasi untuk melindungi orangutan dan spesies lainnya yang terancam punah, tetapi keberadaanya telah menimbulkan sengketa tanah yang mengakibatkan terganggunya aktivitas lokal dalam kegiatan penebangan kayu, perburuan, pertambangan, serta memicu ketegangan dan perselisihan di dalam masyarakat. Lebih dari sekadar ekspresi protes, mereka yang melakukan penebangan pohon dan pemblokiran setapak tersebut ‘berharap untuk didengar agar dapat mengangkat isu terkait tata batas yang belum terselesaikan, dan bertemu dengan mereka yang mampu menjelaskan dengan tepat letak batas yang telah ditetapkan’. Kutipan ini memberikan pemahaman bahwa sesungguhnya masyarakat desa di Kalimantan tidak menolak ide konservasi itu sendiri; akan tetapi keberhasilan skema-skema konservasi sangat bergantung pada keberhasilan aktor konservasi dalam menghadapi isu-isu sensitif seperti kepemilikan lahan, serta membangun kepedulian, pengakuan, dan hubungan timbal balik.

Baca cerita tentang pohon yang ditebang.

Penebangan liar

Penebangan ini bukanlah merupakan insiden tunggal. Setahun sebelumnya, sebuah kamera jebakan merekam orangutan betina dengan anaknya, seekor bayi dan seekor lagi remaja. Tak lama kemudian, tampilan kamera jebakan juga memperlihatkan pepohonan di area yang sama tengah ditebang. ‘Kami melihat kehancuran tepat di depan mati kami,’ ungkap seorang pegiat konservasi dengan perasaan sedih. Dengan menggunakan alat berat dari sawmill lokal, beberapa penduduk desa telah menebang sebidang lahan di hutan yang di dalamnya terdapat pohon-pohon jenis kayu keras berharga. Kekhawatiran utama dari para pegiat konservasi adalah bahwa ‘illegal logging’ atau ‘pembalakan liar’, sebagaimana mereka menjulukinya, telah menghancurkan habitat penting orangutan. Namun, ‘kayu gelondongan’ atau mambatang istilah lokalnya, telah memungkinkan penduduk desa untuk dapat mencari nafkah meskipun dihadapkan dengan berbagai tekanan dan bahaya dalam menggeluti mata pencahariannya dalam memanfaatkan sumber daya di area hutan adat mereka. Bagi penduduk desa, hak untuk dapat menebang pohon adalah merupakan masalah moral dan ekonomi.

Episode ini menunjukkan ketegangan yang dapat timbul diakibatkan pergesekan antara tradisi masyarakat lokal terlibat dalam interaksi dengan lingkungannya serta tata cara mereka menata akses dan kepemilikan atas sumber daya, dengan peraturan-peraturan negara yang mendefinisikan pemahaman dan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai tindakan atau kegiatan ilegal. Sementara masyarakat lokal mengklaim teritori mereka berdasarkan pada hukum adat, sebaliknya, pengelolaan wilayah untuk kegiatan konservasi mengacu pada aturan pemerintah dan berpedoman pada dokumen-dokumen yang dikeluarkan negara. Friksi ini menciptakan ruang kompleks yang penuh ketidaknyamanan dan ketakutan di mana proyek konservasi dijalankan.

Karena adanya paralelitas antara sistem hukum dan perencanaan tata guna lahan yang buruk di Kalimantan, sengketa wilayah sering muncul. Sebelum organisasi konservasi masuk, kawasan tertentu biasanya telah ditetapkan untuk tujuan konservasi tanpa didahului investigasi mendalam ke lapangan. Aparatur/pejabat pemerintah telah mendemarkasi lokasi untuk wilayah konservasi dari jarak jauh dengan menggunakan peta yang ada di kantor pemerintah. Merasa tanahnya dirampas, beberapa penduduk desa mulai melawan keberadaan kawasan hutan lindung dan tata batas baru yang ditetapkan oleh pemerintah. Akses ke dalam hutan sangat penting bagi mata pencaharian lokal, dan tanah merupakan aset paling berharga yang dimiliki penduduk desa. Namun demikian, hal mendasar yang membuat para penduduk desa sangat marah adalah perasaan bahwa mereka tidak cukup dilibatkan dan nyaris tidak mendapat manfaat dari penetapan wilayah tersebut. Walaupun beberapa warga desa dipekerjakan sebagai staf, kebanyakan dari penduduk desa mengeluhkan apa yang mereka lihat sebagai skema dari pendekatan top-down atau pendekatan sepihak dari atas ke akar rumput. Masyarakat juga merasa kecewa karena kurangnya informasi yang diberikan, kesempatan untuk dapat ikut berpartisipasi, dan manfaatnya bagi masyarakat luas. Kasus ini menunjukkan adanya permasalahan kompleks yang multi lapis pada lokasi konservasi yang mendesak untuk diatasi agar kegiatan-kegiatan konservasi dapat berjalan dengan baik di lapangan. Seringkali, menyediakan lapangan pekerjaan atau menjalankan program jangka pendek untuk meningkatkan mata pencaharian lokal saja tidaklah cukup. Untuk menghasilkan perubahan yang positif dan membuat konservasi berjalan dengan baik di tingkat tapak, diperlukan upaya untuk mengatasi penyebab utama kemiskinan struktural, ketidakadilan sosial serta distribusi kekayaan dan sumber daya yang tidak merata. Selain itu, kekhawatiran penduduk desa menunjukkan bahwa bagi mereka, terciptanya hubungan jangka panjang yang saling mengakui dan menghargai, rasa saling percaya dan peduli, dan hubungan timbal balik adalah hal terpenting sebagai prasyarat keikutsertaan mereka dalam tindakan konservasi. Kisah ini mengungkapkan bagaimana para pegiat konservasi di mana pun berada, perlu menemukan cara pelibatan dengan komitmen jangka panjang, memberikan timbal balik yang memadai kepada masyarakat, dan menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap hak-hak dan norma adat.

Site by Platform Twenty Ltd.