Gambar Permakultur.
‘Saya ingin orang-orang belajar tentang lingkungan melalui berkebun sebagai medium di mana mereka mengenal isu-isu seperti masalah sampah, konservasi, dan isu lainnya. Artinya bahwa berkebun bukan hanya sekedar tentang bercocok tanam, tapi ada visi dan misi yang kita bawa’, kata manajer program untuk pengembangan masyarakat dari sebuah LSM ketika menjelaskan alasan dibalik pelatihan permakultur yang sedang mereka jalankan di suatu desa. Inisiatif pengembangan masyarakat berfungsi sebagai jembatan atau media untuk membangun hubungan baik dengan penduduk desa dan, idealnya, membawa manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat lokal. Beberapa inisiatif serupa juga telah berupaya menciptakan mata pencaharian yang berkelanjutan dengan memulai atau mempengaruhi praktik pertanian lokal. Walaupun demikian, terlepas dari niat baik tersebut, program pengembangan masyarakat bukan tidak menghadapi tantangan sama sekali, bahkan terkadang program ini sulit mewujudkan efek jangka panjang.
Pelatihan permakultur di desa ini berlangsung selama empat hari. Para peserta pelatihan belajar tentang asal usul, prinsip, dan manfaat permakultur selama dua setengah hari di balai desa. Mereka mendengarkan beberapa presentasi, menonton film, dan menggambar. Banyak peserta pelatihan mengalami kesulitan mencerna konten dan kewalahan dengan banyaknya catatan landasan teori yang tampak kontras dengan cara mereka terlibat dalam pelestarian alam dan lingkungan yang biasanya dilakukan berdasarkan pendekatan tradisional dan adat. Pada hari ketiga dan keempat, para peserta pelatihan mempraktekkan dan belajar ilmu permakultur langsung di lapangan dengan membuat kebun komunitas. Kebun tersebut dijadikan sebagai contoh bagaimana menata kembali kebun rumah mereka berdasarkan prinsip-prinsip permakultur, sehingga pelatihan ini berlangsung selama beberapa minggu.
Tiga bulan setelah pelatihan, tim pengembangan masyarakat tiba untuk memeriksa kemajuan proyek permakultur. Gulma tumbuh subur menutupi kebun permakultur dan hampir tidak ada peserta pelatihan yang melakukan ‘pekerjaan rumah’ mereka, tutur staf dari program pengembangan masyarakat. Warga desa sudah terbiasa berladang dengan cara membakar sehingga membuat mereka tampak tidak yakin dengan manfaat permakultur terlebih menanam alternatif bahan makanan pokok seperti singkong yang dianggap masyarakat lokal hanyalah sebagai kudapan. Apalagi, di masa lalu singkong merupakan makanan masa paceklik. Permakultur sulit diterima oleh masyarakat karena kurangnya kunjungan dari tim pengembangan masyarakat ke desa untuk memberikan dukungan kepada warga desa sebagai tindak lanjut kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan. Merasa frustasi, staf dari pengembangan masyarakat menyimpulkan, ‘Jika mereka (warga desa) tidak menginginkan permakultur, biarkan saja’. Kesimpulan ini dibuat tanpa merefleksikan kembali bersama-sama dengan masyarakat mengapa hal-hal yang tim konservasi harapkan tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga akhirnya proyek tersebut membuat penduduk desa dan staf konservasi sama-sama merasa kecewa.
Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya prakarsa lokal yang dibangun menurut istiadat setempat dalam kegiatan pengembangan masyarakat yang berkaitan dengan konservasi, termasuk mengenai bagaimana mengelola sumber daya alam. Juga tentang pentingnya kunjungan rutin untuk memberikan dukungan kepada masyarakat dan membangun rasa saling percaya yang kokoh. Perilaku refleksi akan potensi adanya tantangan dan kesulitan dalam upaya pengembangan masyarakat dapat membantu terwujudnya transformasi. Hal lain yang tak kalah penting adalah kemauan dan keterbukaan masyarakat lokal yang terlibat untuk kesuksesan bersama.